Kisah ini merupakan penggalan dari prosesi hijrah Rasulullah saw. yang sering dilewatkan, karena tokoh utama dalam kisah ini adalah seorang sahabat anshar yang bernama Abu Ayyub al-Anshari dan onta yang setia mengantarkan Rasulullah saw.
Setalah menempuh perjalanan dari Makkah, akhirnya Rasulullah saw pun sampai ke gerbang pintu kota Madinah. Sambutan kaum anshar sebagai penduduk Madinah amat sangatlah hangatnya. Sepanjang jalas dihias dengan warna-warni keceriaan. Sudut-sudut kota dibersihkan untuk menyambut kedatangannya. Rumah-rumah di sepanjang jalan telah bersiap menerima tamu agung. Setiap tuan rumah sibuk menyiapkan hidangan berbagai masakan. Ruang tamu ditata rapi lengkap dengan hidangan dan minuman tak ketinggalan permadani berbulu tebal dialaskan. Mereka semua mengharapkan Rasulullah saw akan sudi singgah dan menjadikan rumah mereka sebagai tempat tinggalnya. Bahkan dalam hati masing-masing pembesar anshar ini terbersit kebanggan diri bahwa "Rasulullah pasti akan senang tinggal di rumahku yang mewah dan nyaman, karena aku telang melengkapi segala macam fasilitasnya".
Akan tetapi ketika Rasulullah saw memasuki pintu gerbang kota Madinah beliau langsung turun dari ontanya, seperlu menyalami dan membalas sambutan hangat dari masyarakat kota. Mereka saling mendahului menyalami, memeluk dan mengelu-elukan Rasulullah saw. sebagai rembulan di tengah gelap malam. Sambutan itu terus mengalir hingga mereka saling berebut mempersilahkan Rasulullah saw. singgah dikediamannya. Demikian mereka saling serobot menggelendeng onta Rasulullah menuju rumah mereka, dengan harapan Rasulullah akan mengikutinya. Akan tetapi tidak demikian, karena Rasulullah saw. segera mesergah mereka dan memerintahkan agar ontanya dibiarkan memilih tempat istirahatnya sendiri, dan di sanalah Rasulullah saw akan singgah.
Sementara itu diantara rumah-rumah yang indah dan mewah di sepanjang jalan kota Madinah, terdapat sebuah rumah sederhana yang tidak dapat dikatakan mewah. Perabot sederhana dan permadani agak usang terpasang di ruang tamu. Itulah kediaman Abu Ayyub al-Anshari. Sahabat yang merasa rumahnya bukanlah standard yang pantas untuk disinggahi Utusan Allah Muahmmad saw. dalam hati kecilnya merasakan betapa besarnya rasa hormat-ta'dhim kepada Rasulullah saw yang amat sangat, sehingga ia merasa rumahnya terlalu sederhana dijadikan persinggahan manusia termulia di alam raya ini. Apalagi bila dipikir dirinya bukanlah salah seorang bangsawan terkemuka di Madinah. Dia merasa menjadi manusia hina apalagi jika dibandingkan Rasulullah saw. Begitulah keadaannya sehingga ia tidak berani menawarkan rumahnya untuk tempat persinggahan Rasul yang Mulia.
Namun apa yang terjadi, justru onta itu terus berjalan melewati rumah-rumah mewah, melewati bangunan-bangunan kokoh dan akhirnya malah memasuki pelataran rumah Abu Ayyub al-Anshari. Sehingga tempat itulah yang dipilih Rasulullah saw sebagai tempat singgahnya. Rumah sederhana dengan tuan rumah yang sangat merendahkan diri. Betapa bersukurnya Abu Ayyub al-Anshari atas anugrah yang diberikan oleh Allah kepadanya, sebagai tuan rumah dari Utusan yang Paling Mulia Rasulullah saw.
Demikianlah kisah ini menunjukkan kebenaran sabda Rasulullah saw barang siapa merendahkan diri, merasa dirinya hina dibandingkan manusia lain (tawadhu') Allah swt akan menjunjung derjatnya. Begitu juga sebaliknya, barang siapa yang sombong, merasa dirinya lebih hebat dari yang lain (kibriya') pastilah Allah akan menjatuhkannya.
من توضع رفعه الله ومن تكبر وضعه الله
Abu Ayyub al-Anshari adalah orang yang tawadhu', orang yang merasa dirinya tidaklah semulia para bangsawan Madinah. Orang yang merasa kediamannya paling buruk dan paling tidak pantas untuk disinggahi manusia semulia Rasulillah saw. Jangankan menawarkan rumah untuk singgah Rasulullah saw sebagaimana yang dilakukan para bangsawan Madinah, merasa layakpun ia tidak berani. Itulah gambaran ketawadhuan Abu Ayyub al-Anshari yang Justru dipilih oleh Allah swt sebagai tuan rumah atas hijrah Rasulul-Nya.
Begitulah Allah memuliakan orang yang tawadhu' mengalahkan mereka yang sombong. Allah perintahkan Jibril menghentikan onta Rasulullah pas di depan rumah Abu Ayyub al-Anshari. Karena Rasulullah saw sebagai pribadi yang sangat merendahkan diri, hanya cocok dengan sahabat yang memiliki pribadi tawadhu pula.
Allah sendiri telah membuktikan ketawadhuan Rasulullah saw ketika beliau bersama para Nabi dan Rasul-Nya menjawab pertanyaan dari-Nya. Dikisahkan dalam sebuah percakapan Allah bertanya kepada Nabi Ibrahim as. "Wahai Ibrahim, siapakah dirimu?" Nabi Ibrahim menjawab "ana khalilullah" saya adalah kekasih Allah. Sebuah jawaban yang tepat dan tidak salah. Sesuai dengan julukannya sebagai khalilullah. Demikian pula jawaban Nabi Musa as. ketika ditanya oleh Allah "Wahai Musa siapakah kamu itu?" Nabi Musa menjawab "ana kalimullah" saya adalah orang yang diajak bicara oleh Allah, Sebuah jawaban yang tepat dan tidak salah. Sesuai dengan julukannya sebagai Kalimullah. Begitu pula jawaban Nabi Isa ketika ditanya oleh Allah "wahai Isa siapakah engaku?" Nabi Isa juga menjawa "ana ruhullah". Sebuah jawaban yang tepat dan tidak salah. Sesuai dengan julukannya sebagai ruhullah. Sesuai dengan mu'jizat yang dimilikinya mampu menghidupkan orang yang sudah meninggal.
Giliran Rasulullah Muhammad saw ditanya oleh Allah "Hai Muhammad, siapakah Kamu?" Rasulullah menjawab "anal Yatim" saya adalah anak yatim. Sebuah jawaban yang sangat merendahkan diri. Rasulullah saw sebagai Nabi dan Rasul terakhir, manusia paling sempurna dan paling dicinta oleh Allah swt. tentunya bisa menjawab dengan sedikit lebih gagah, karena posisi Muhammad Rasulullah saw sebenarnya melebihi Rasul dan Nabi yang lain. Akan tetapi Muhammad Rasulullah saw memilih 'yatim' sebagai prediketnya. Sebuah posisi yang sering dihinakan dan disepele manusia di dunia, anal yatiim. Justru kerendahan diri Rasulullah inilah yang menjadi bukti ketinggian derajatnya diantara para nabi da Rasul yang lain.
Demikianlah dua kisah Rasulullah ini dapat menjadi tauladan bagi kita semua. Bahwa sudah sepantasnya kita merasa diri ini bukanlah siapa-siapa dihadapan Allah Yang Maha Kuasa. demikianlah yang diinginkan Allah swt atas hamba-hambanya, agar menjadi orang yang tawadhu bukan menjadi orang yang sombong. Sebagaimana disinggung oleh-Nya dalam al-Qur'an
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا سَلَامًا
Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
Artinya bahwa diantara tanda-tanda orang yang memiliki sifat tawadhu' selalu berjalan dengan menundukkan kepala. Seolah-olah tidak pernah melihat langit. Berjalan dengan santai tanpa membusungkan dada. Meskipun ia memiliki kuasa sebagai gubernur, jendral ataupun ulama misalnya. Hal ini berbeda dengan orang-orang yang sombong yang berjalan dengan mendongak ke atas tidak pernah melihat bumi. Bahkan ketika mereka disapa dan dikomentari, mereka hanya menjawab 'salama', yang artinya keselamatan atas kita semua, diantara kita tidak ada yang lebih baik, aku juga tidak lebih baik dari kamu begitu juga sebaliknya.
Oleh : M Imam Asro’ie
ConversionConversion EmoticonEmoticon